A.
Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan di
Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes
Dekker yang kemudian dikenal sebagai Dr. Danu Dirdjo Setia Budhi, Dr. Cipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat yang kemudian terkenal dengan nama
Ki Hadjar Dewantara. EFE Douwes Dekker sendiri adalah cucu dari adik d Douwes
Dekker penulis buku yang cukup terkenal “Max Haveelar” yang memuat kisah-kisah
penderitaan “Saija dan Adinda” dengan menggunakan nama samaran Multatuli.
Sedangkan Dr. Cipto adalah anak
seorang guru dan pernah dianugerahi bintang jasa “Ridder in de Orde van Oranje
Nassau” oleh Ratu Wilhelmina karena keberaniannya bertugas di Kepajen dekat
kota Malang tatkala berjangkit wabah pes disana. Ia seseorang yang pantang
menyerah dalam menggapai cita-citanya dan terkenal dengan semboyannya
“rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Dan Suwardi Suryaningrat adalah
keturunan bangsawan, cucu dari Sri Paku Alam III. Awalnya bersekolah di STOVIA,
namun tidak selesai dan karena bakat jurnalistiknya ia bersama Douwes Dekker
mengasuh majalah “De Express”.
Menurut anggaran dasarnya, Indische
Partij bermaksud membangun rasa cinta dalam setiap hati orang Hindia terhadap
bangsa dan tanah airnya. Hal ini dilakukan dengan cara menyadarkan masyarakat
dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa kebangsaan atau
nasionalisme. Dan dalam hal ini mereka menganjurkan suatu nasionalisme yang
jauh lebih luas dari nasionalisme Boedi Oetomo. Dan cita-cita ini mereka ini
disebarluaskan melalui Harian De Express.
Mengenai siapakah yang dimaksud
dengan orang Hindia itu. Indische Partij berpendapat bahwa orang Hindia itu
tidak hanya bumi putera saja, tetapi Indo-Belanda, Indo-Cina, Indo-Arab dan
orang-orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah
airnya. Oleh karena itu sejarawan Ricklefs (2006) mengatakan bahwa Indische
Partij yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Indo-Eropa, merupakan
satu-satunya partai yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme
(Indonesia) daripada dalam kerangka Islam, Marxisme ataupun ukuran-ukuran suku
bangsa yang sempit.
Pada tahun 1913, ketika Belanda
merayakan seratus tahun kemerdekaannya . Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah
artikel dalam Harian De Express (edisi 19 Juli) yang berjudul “Als ik eens
Nerdelander was” (Sekiranya saya menjadi seorang Belanda). Isi tulisan tersebut
kurang lebih sebagai berikut,
“Sekiranya saya seorang Belanda,
maka saya tidak akan merayakan pesta-pesta kemerdekaan di dalam suatu negeri
yang kami sendiri tidak sudi memberikan kemerdekaan negeri itu”
Akibatnya, oleh pemerintah kolonial
Belanda yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal A.F. van Idenburg,
artikel itu dianggap menghasut dan akhirnya tiga serangkai diasingkan ke negeri
Belanda.
Selama masa pembuangan di Belanda,
bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya
dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij.
Mereka menerbitkan majalah” De Indier” yang berupaya menyadarkan masyarakat
Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah
Hindia Belanda.
Para tokoh Indiche Partij kemudian
kembali ke Hindia Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Count
of Limburg Stirum (1916-1921). Dr. Cipto sendiri telah kembali pada tahun 1914
karena alasan kesehatan. Setelah kembali, Douwes Dekker bergerak di bidang
pendidikan dengan mendirikan sekolah yang diberi nama “Institut Ksatrian” yang
berpusat di Bandung. Ki Hadjar Dewantara mengikuti jejak Douwes Dekker dengan
mendirikan “Taman Siswa” di Yogyakarta. Sedangkan Dr. Cipto sendiri membuka
praktek dokter di Bandung dan sempat menjadi anggota Volksraad tahun 1918.
Kemudian Indische Partij berubah
namanya menjadi “Insulinde”. Dr. Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde
untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di
daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan
Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak,
kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan
surat kabar Pahlawan.
Akibat propaganda Dr. Cipto, jumlah
anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.000 orang meningkat
menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai
puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah
pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni
1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP)
Akan tetapi NIP rupanya tidak
mendapat sambutan yang luas di masyarakat bumi putera karena masih banyak
pemuda bumi putera yang takut secara terang-terangan menyatakan kemerdekaannya
dan pihak Indo-Belanda masih ingin mempertahankan hak prerogatifnya sebagai
warga negara kelas satu. Akibatnya banyak orang-orang Indo-Belanda yang keluar
dari NIP dan membentuk partai sendiri yang sesuai dengan kepentingan mereka
sendiri yaitu “Indo-Europeesch Verbong” (IEV).
Indische Partij adalah organisasi
modern ketiga yang berdiri setelah Budi Utomo dan Sarekat Islam (Baca Tulisan
saya sebelumnya). Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang secara tegas
menyatakan berpolitik. Dengan demikian Indische Partij adalah partai politik
pertama di Indonesia. Indische Partich ingin menggantikan Indische Bond yang
berdiri pada tahun 1899. Indische Bond adalah organisasi kaum Belanda peranakan
(Indo) dengan pimpinan K. Zaalberg, seorang indo. Tujuan organisasi ini adalah
untuk memperbaiki kaum Indo. Pada masa itu kaum Indo menaruh dendam yang tak
ada hingganya kepada bangsa Belanda dan segala sesuatu yang bercorak Belanda.
Hal ini disebabkan kaum Indo seolah-olah menjadi "golongan yang
dilupakan" oleh bangsa Belanda.
Keistimewaan Indische Partij adalah
usianya yang pendek, tetapi anggaran dasarnya dijadikan program politik pertama
di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes
Dekker (alias Setyabudi) di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 dan merupakan
organisasi campuran Indo dengan bumi putera. Douwes Dekker ingin melanjutkan
Indische Bond, organisasi campuran Asia dan Eropa yang berdiri sejak tahun
1898. Indische Partij, sebagai organisasi politik semakin bertambah kuat
setelah bekerja sama dengan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat
(Ki Hajar Dewantara). Ketiga tokoh ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga
Serangkai”.
E.F.E. Douwes Dekker berpendapat
bahwa hanya melalui kesatuan aksi melawan kolonial, bangsa Indonesia dapat mengubah
sistem yang berlaku, juga keadilan bagi sesama suku bangsa merupakan keharusan
dalam pemerintahan. Pada waktu itu terdapat antitesis antara penjajah dan
terjajah, penguasa dan yang dikuasai. E.F.E. Douwes Dekker berpendapat, setiap
gerakan politik haruslah menjadikan kemerdekaan yang merupakan tujuan akhir.
Pendapatnya itu disalurkan melalui majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De
Espres.
Sementara itu, E.F.E. Douwes Dekker
banyak berhubungan dengan para pelajar STOVIA di Jakarta. Karena ia menjadi
redaktur Bataviaasch Nieuwsblad maka tidak mengherankan kalau ia banyak
berkenalan dan memberi kesempatan kepada penulis-penulis muda dalam surat
kabar.
Menurut Suwardi Suryaningrat,
meskipun pendiri Indische Partij adalah orang Indo, tetapi tidak mengenal
supremasi Indo atas bumi putera, bahkan ia menghendaki hilangnya golongan Indo
dengan meleburkan diri dalam masyarakat bumi putera.
Perjuangan untuk menentang perbedaan
sosio-politik inilah yang menjadi dasar tindakan Suwardi Suryaningrat selanjutnya
dengan mendirikan Taman Siswa (1922) dan menentang Undang-Undang Sekolah Liar
(1933). Di sisi lain, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo meneruskan perjuangannya yang
radikal, walaupun ia dibuang bersama E.F.E. Douwes Dekker ke Belanda tahun
1913. Pada tahun 1926 ia dibuang lagi ke Banda dan sebelumnya dipenjarakan dua
tahun di Bandung. Sebelum Jepang masuk ia dibebaskan dari penjajah dan pada
tahun 1943 ia meninggal dunia.
Tujuan Indische
Partij
Dalam anggaran dasar Indische Partij
(Pasal 2) dirumuskan tujuan sebagai berikut :
a.
Untuk
membangun patriotisme semua bangsa Hindia kepada tanah air yang telah memberi
lapangan hidup kepadanya.
b.
Menganjurkan
kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan.
c.
Memajukan
tanah air Hindia.
d.
Mempersiapkan
kehidupan rakyat yang merdeka.
Adapun usaha-usaha untuk mencapai
tujuan itu adalah sebagai berikut :
a.
Memelihara
Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua
bangsa Hindia, meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah kebudayaan Hindia,
menyatupadukan intelek secara bertahap kedalam golongan-golongan bangsa yang
masih hidup bersama dalam keadaan terpisah karena ras dan ras peralihan
masing-masing, menghidpkan kesadaran diri dan kepercayaan terhadap diri sendiri.
b.
Menyingkirkan
kesombongan rasial dan keistimewaan ras, baik dalam bidang ke tatanegaraan
maupun dalam bidang kemasyarakatan, melawan usaha untuk membangkitkan kebencian
agama dan sektarisme yang bisa mengakibatkan bangsa Hindia tidak mengenal satu
sama lain, dan memajukan kerjasama nasional.
c.
Memperkuat
tenaga bangsa Hindia dengan usaha kemajuan terus menerima dari individu kearah
aktivitas yang lebih besar dalam bidang tehnik dan kearah penguasaan diri serta
pola berfikir dalam bidang kesusilaan.
d.
Penghapsan
ketidaksamaan hak kaum Hindia.
e.
Memperkuat
daya pertahanan bangsa Hindia untuk mempertahankan tanah air dari serangan
asing, apabila perlu.
f.
Mengusahakan
unifikasi, perluasan, pendalaman dan Hindianisasi pengajaran, yang di dalam
semua hal harus ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia, dimana tidak
diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan ras, seks atau kasta dan harus
dilaksanakan sampai tingkat setinggi-tingginya yang bisa di capai.
g.
Memperbesar
pengaruh Pro-Hindia ke dalam pemerintahan.
h.
Memperbaiki
keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat yang lemah
ekonominya.
Semua usaha-usaha lain yang sah dan
dapat dipergunakan untuk memcapai tujuan tersebut.
Keanggotaan
Keanggotaan Indische Partij terbuka untuk semua
golongan bangsa tanpa membedakan tingkatan kelas, seks atau kasta, golongan
bangsa yang menjadi anggota Indische Partij adalah golongan bumiputera,
golongan Indo, Cina dan Arab.
Keanggotaan Indische PArtij tersebar pada 30 cabang dengan jumlah anggota seluruhnya 7.300 orang, sebagian besar golongan Indo. Sedangkan jumlah anggota golongan bumiputera adalah 1.500 orang, kebanyakan golongan terpelajar. Indische Partij Cabang antara lain adalah Semarang, dengan jumlah anggota 1.300 orang, Surabaya dengan jumlah anggota 850 orang, Bandung dengan jumlah anggota 700 orang, Batavia dengan Jumlah anggota 654 orang.
Jika dibandingkan dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam, maka keanggotaan Indische Partij lebih kecil jumlahnya. Mungkin hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut untuk memasuki suatu perkumpulan politik. Adanya pasal 111 Regerings-Reglement (RR), yang berbunyi "Bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan yang membicarakn soal pemerintahan (politik) atau membahayakan keamanan umum dilarang di Hindia Belanda". Pasal ini merupakan tembok penghalang yang sukar ditembus oleh Indische Partij dalam mengembangkan jumlah Anggotanya.
Perjuangan Indische Partij untuk memperoleh Badan Hukm.
Di dalam rapat pendirian Indische
Partij pada tanggal 25 Desember 1912 ditetapkan pula anggaran dasarnya. Kemdian
anggaran dasar itu diberikan kepada pemerintah untuk mendapatkan pengesahan
untuk menjadikan Indische Partij berbadan hukum. Sikap Gubernur jendral
Idenberg terhadap Indische Partij berbeda dengan sikapnya kepada Budi Utomo dan
Sarekat Islam. Sikapnya terhadap Budi Utomo dan Sarekat Islam sangat
berhati-hati, tetapi sikapnya terhadap Indische Partij sangat tegas. Gubernur
Jendral Idenberk menolak anggaran dasar Indische Partij dengan surat keputusan
tanggal 4 Maret 1913. Alas an penolakan disebutkan "Oleh karena
perkumpulan itu berdasar politik dan mengancam hendak merusak keamanan umum,
harus dilarang pendiriannya, menurut pasal 111 RR".
Di dalam rapat tanggal 5 Maret 1913
pucuk pimpinan Indische Partij memutuskan untuk mengubah bunyi pasal 2 tentang
tujuan Indische Partij. Setelah diubah bunyinya menjadi seperti berikut :
a.
Memajukan
kepentingan anggota di dalam segala lapangan, baik jasmani maupun rohani.
b.
Menambah
kesentosaan kehidupan rakyat di Hindia Belanda.
c.
Berdaya
upaya menghilangkan segala rintangan dan Undang-undang Negara yang menghalangi
terciptanya tujuan, dan
d.
Minta
diadakan undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang menunjang tercapainya
tujuan.
Pada tanggal 5 Maret 1913 Indische
Partij memajukan lagi untuk kedua kalinya anggaran dasar agar dapat disahkan
oleh pemerintah. Dengan surat keputusan tanggal 11 Maret 1913 Gubernur Jendral
menolak anggaran dasar Indische Partij yang baru. Bunyi penolakan itu adalah
sebagai berikut "Menimbang bahwa perubahan yang diadakan pada pasal 2
anggaran dasar itu, sekali-kali tidak bermaksud merubah dasar dan jiwa
organisasi itu yang sebenarnya, sebagai diterangkan di dalam surat keputusan
tanggal 4 Maret 1913 No.1 maka kenyataan itu adalah jelas daripada keterangan
ketua organisasi, atas pertanyaan Cabang Indramayu yang tertulis di dalam
notulen persidangan tanggal 25 Desember 1912 dan dilampirkan di dalam surat
permohonan pcuk pimpinan Indische Partij tanggal 16 Maret 1913. Berhubung
dengan itu, pemerintah Hindia Belanda tetap menguatkan surat keputusan tanggal
4 Maret 1913".
Walaupun kemdian pucuk pimpinan
Indische Partij beraudiensi kepada Gubernur Jendral Idenburg untuk mengulangi
permohonan badan hukum itu, tetapi pemerintah Hindia Belanda tetap pada
pendiriannya.Dengan adanya penolakan itu berarti Indische Partij menjadi parta
terlarang dan hanya berusia 6 Bulan. Meskipun usianya pendek tetapi semangat
dan jiwa Indische Partij tetap mendapatkan tempat pada para pemimpin pergerakan
saat itu.
Penangkapan dan Pengasingan
Pemerintah kolonial Belanda ingin
merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari jajahan Perancis pada tahun
1813. Negeri Belanda dikuasai Napoleon Bonaparte kaisar Perancis (1805).
Napoleon Bonaparte menempatkan saudaranya, Louis Napoleon menjadi Raja Belanda.
Melalui perang Koalisi VI (1813-1814) Rusia, Inggris, Australia, Spanyol,
Prusia dan Negara-negara Jerman dapat mengalahkan Napoleon Bonaparte dalam
"Pertempuran bangsa-bangsa" di Leipzig tahun 1813. Dengan runtuhnya
kekuasaan Napoleon itu, Belanda menjadi Negara merdeka, sesuai dengan isi
perjanjian Perdamaian Paris I (1814).
Rencana perencanaan 100 tahun
kemerdekaan negeri Belanda di tanah jajahan ini menimbulkan perasaan anti pati
dan penghinaan terhadap rakyat jajahan. Untuk mengimbangi niat pemerintah
kolonial Belanda itu, didirikanlah di Bandung sebuah Komite yang dikenal
sebagai "Komite Boemi Poetra". Tujuan Komite itu adalah :
a.
Mencabut pasal 111 RR.
b.
Membentuk majelis perwakilan rakyat sejati.
c.
Adanya kebebasan berpendapat di tanah jajahan.
Salah satu pemimpin Komite Boemi
Poetra, R.M. Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah risalah dengan judul Als Ik
Eens Nederlander Was (Seandainya ak seorang Belanda). Di dalam risalah itu ia
menulis antara lain:
…Seandainya Aku Seorang Belanda, masih belumlah saya
dapat berlaku sekehendak hati saya. Dengan sesungguhnya saya akan
mengharap-harap, semoga peringatan hari kemerdekaan itu, di pesta
seramai-ramainya, tapi saya tidak akan menyukai, jika anak-anak negeri dari
tanah jajahan ini dibawa-bawa larut berpesta. Saya akan melarang mereka turut
bergembira dan bersuka ria di hari-hari keramaian itu, bahkan saya akan meminta
dip agar tempar berpesta, agar tidak ada seorang diantara anak-anak negeri yang
dapat terlihat, secara apa kita beriang-riang dalam memperingati hari
kemerdekaan kita itu.
…..Sejalan
dengan aliran itu, bukan daja tidak adil, tapi terlebih lagi tidak patut, jika
anak-anak negeri disuruh menyumbang uang pula untuk turut membelanjai pesta
itu. Jika mereka itu telah diperhatikan dengan laku mengadakan pesta
kemerdekaan untuk negeri Belanda, sekarang orang bermaksud pula hendak
mengosongkan kantong uangnya. Sesungguhnya, suatu penghinaan lahir dan batin
Tulisan R.M. Soewardi Soerjaningrat
ini mendapat reaksi yang hebat dari pemerintah kolonial Belanda. Terjadilah
pemeriksaan-pemeriksaan yang intensif terhadap Tiga Serangkai oleh Kejaksaan.
Dengan menggunakan "Hak Luar Biasa" (Exorbitante rechten) Gubernur
Jenderal Idenburg mengeluarkan surat keputusan tanggal 18 Agustus 1913 untuk
mengasingkan ketiga pemimpin Komite Boemi Poetra itu. Beberapa tempat ditunjuk
untuk mereka. Kupang untuk Tjipto Mangoenkoesoemo, Banda untuk R.M. Soewardi
Soerjaningrat, dan Bengkulu untuk Douwes Dekker. Disamping itu ditetapkan pula
dalam surat keputusan tanggal 18 Agustus 1913 bahwa mereka bebas berangkat
keluar Hindia Belanda. Mereka bertiga memilih diasingkan di luar negeri, yaitu
ke negeri Belanda. Mereka berangkat ke Negeri pengasingan tanggal 6 September
1913. Hari keberangkatannya ini diproklamasikan sebagai "Hari Raya
Kebangsaan".
Dengan diasingkannya ketiga pimpinan
tersebut, maka secara Organisatoris Indische Partij tidak berperanan lagi di
dalam pergerakan nasional Indonesia. Ternyata, pengasingan Tiga Serangkai ke
negeri Belanda berpengaruh amat kuat pada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
belajar disana.
Walaupun usia Indische Partij sangat
pendek, tetapi semangat jiwa dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi
Suryaningrat sangat besar berpengaruh bagi para pemimpin pergerakan pada waktu
itu, terlebih lagi Indische Partij menunjukan garis politiknya secara jelas dan
tegas serta menginginkan agar rakyat Indonesia dapat menjadi satu kesatuan
penduduk yang multirasial. Tujuan dari partai ini benar-benar revolusioner
karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial.
Meskipun banyak ditinggalkan oleh
anggotanya, sepak terjang tiga serangkai tidaklah surut. Kegiatan-kegiatan
dalam bentuk tulisan dan propaganda yang dilakukan oleh ketiganya
memperjuangkan kemerdekaan dan nasionalisme Hindia tetap merupakan ancaman bagi
pemerintah kolonial, sehingga demikian pada tahun 1921 Nationaal-Indische
Partij (NIP) dibubarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar