Minggu, 18 November 2012

INDISCHE PARTAI


A.    Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang kemudian dikenal sebagai Dr. Danu Dirdjo Setia Budhi, Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat yang kemudian terkenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. EFE Douwes Dekker sendiri adalah cucu dari adik d Douwes Dekker penulis buku yang cukup terkenal “Max Haveelar” yang memuat kisah-kisah penderitaan “Saija dan Adinda” dengan menggunakan nama samaran Multatuli.
Sedangkan Dr. Cipto adalah anak seorang guru dan pernah dianugerahi bintang jasa “Ridder in de Orde van Oranje Nassau” oleh Ratu Wilhelmina karena keberaniannya bertugas di Kepajen dekat kota Malang tatkala berjangkit wabah pes disana. Ia seseorang yang pantang menyerah dalam menggapai cita-citanya dan terkenal dengan semboyannya “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Dan Suwardi Suryaningrat adalah keturunan bangsawan, cucu dari Sri Paku Alam III. Awalnya bersekolah di STOVIA, namun tidak selesai dan karena bakat jurnalistiknya ia bersama Douwes Dekker mengasuh majalah “De Express”.
Menurut anggaran dasarnya, Indische Partij bermaksud membangun rasa cinta dalam setiap hati orang Hindia terhadap bangsa dan tanah airnya. Hal ini dilakukan dengan cara menyadarkan masyarakat dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Dan dalam hal ini mereka menganjurkan suatu nasionalisme yang jauh lebih luas dari nasionalisme Boedi Oetomo. Dan cita-cita ini mereka ini disebarluaskan melalui Harian De Express.
Mengenai siapakah yang dimaksud dengan orang Hindia itu. Indische Partij berpendapat bahwa orang Hindia itu tidak hanya bumi putera saja, tetapi Indo-Belanda, Indo-Cina, Indo-Arab dan orang-orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya. Oleh karena itu sejarawan Ricklefs (2006) mengatakan bahwa Indische Partij yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Indo-Eropa, merupakan satu-satunya partai yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme (Indonesia) daripada dalam kerangka Islam, Marxisme ataupun ukuran-ukuran suku bangsa yang sempit.
Pada tahun 1913, ketika Belanda merayakan seratus tahun kemerdekaannya . Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah artikel dalam Harian De Express (edisi 19 Juli) yang berjudul “Als ik eens Nerdelander was” (Sekiranya saya menjadi seorang Belanda). Isi tulisan tersebut kurang lebih sebagai berikut,
“Sekiranya saya seorang Belanda, maka saya tidak akan merayakan pesta-pesta kemerdekaan di dalam suatu negeri yang kami sendiri tidak sudi memberikan kemerdekaan negeri itu”
Akibatnya, oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal A.F. van Idenburg, artikel itu dianggap menghasut dan akhirnya tiga serangkai diasingkan ke negeri Belanda.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah” De Indier” yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Para tokoh Indiche Partij kemudian kembali ke Hindia Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Count of Limburg Stirum (1916-1921). Dr. Cipto sendiri telah kembali pada tahun 1914 karena alasan kesehatan. Setelah kembali, Douwes Dekker bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah yang diberi nama “Institut Ksatrian” yang berpusat di Bandung. Ki Hadjar Dewantara mengikuti jejak Douwes Dekker dengan mendirikan “Taman Siswa” di Yogyakarta. Sedangkan Dr. Cipto sendiri membuka praktek dokter di Bandung dan sempat menjadi anggota Volksraad tahun 1918.
Kemudian Indische Partij berubah namanya menjadi “Insulinde”. Dr. Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Akibat propaganda Dr. Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.000 orang meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP)
Akan tetapi NIP rupanya tidak mendapat sambutan yang luas di masyarakat bumi putera karena masih banyak pemuda bumi putera yang takut secara terang-terangan menyatakan kemerdekaannya dan pihak Indo-Belanda masih ingin mempertahankan hak prerogatifnya sebagai warga negara kelas satu. Akibatnya banyak orang-orang Indo-Belanda yang keluar dari NIP dan membentuk partai sendiri yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri yaitu “Indo-Europeesch Verbong” (IEV).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAn31TR-kzAd7psiGGqO6wqPFYxwnZO7WGaJKWpYv-B3DBvqSQoOIr3Jit3qb1euA2UoCMAqyEaihW1zkxK1sfgUE2Ilr-zJO_douPTgHgGMXmjYA8sx-CpT7YbnIsmETY3b9XCdZ3emA/s400/douwes+dekker.bmp
Indische Partij adalah organisasi modern ketiga yang berdiri setelah Budi Utomo dan Sarekat Islam (Baca Tulisan saya sebelumnya). Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang secara tegas menyatakan berpolitik. Dengan demikian Indische Partij adalah partai politik pertama di Indonesia. Indische Partich ingin menggantikan Indische Bond yang berdiri pada tahun 1899. Indische Bond adalah organisasi kaum Belanda peranakan (Indo) dengan pimpinan K. Zaalberg, seorang indo. Tujuan organisasi ini adalah untuk memperbaiki kaum Indo. Pada masa itu kaum Indo menaruh dendam yang tak ada hingganya kepada bangsa Belanda dan segala sesuatu yang bercorak Belanda. Hal ini disebabkan kaum Indo seolah-olah menjadi "golongan yang dilupakan" oleh bangsa Belanda.

Keistimewaan Indische Partij adalah usianya yang pendek, tetapi anggaran dasarnya dijadikan program politik pertama di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (alias Setyabudi) di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 dan merupakan organisasi campuran Indo dengan bumi putera. Douwes Dekker ingin melanjutkan Indische Bond, organisasi campuran Asia dan Eropa yang berdiri sejak tahun 1898. Indische Partij, sebagai organisasi politik semakin bertambah kuat setelah bekerja sama dengan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketiga tokoh ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”.

E.F.E. Douwes Dekker berpendapat bahwa hanya melalui kesatuan aksi melawan kolonial, bangsa Indonesia dapat mengubah sistem yang berlaku, juga keadilan bagi sesama suku bangsa merupakan keharusan dalam pemerintahan. Pada waktu itu terdapat antitesis antara penjajah dan terjajah, penguasa dan yang dikuasai. E.F.E. Douwes Dekker berpendapat, setiap gerakan politik haruslah menjadikan kemerdekaan yang merupakan tujuan akhir. Pendapatnya itu disalurkan melalui majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Espres. 

Sementara itu, E.F.E. Douwes Dekker banyak berhubungan dengan para pelajar STOVIA di Jakarta. Karena ia menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad maka tidak mengherankan kalau ia banyak berkenalan dan memberi kesempatan kepada penulis-penulis muda dalam surat kabar.

Menurut Suwardi Suryaningrat, meskipun pendiri Indische Partij adalah orang Indo, tetapi tidak mengenal supremasi Indo atas bumi putera, bahkan ia menghendaki hilangnya golongan Indo dengan meleburkan diri dalam masyarakat bumi putera.

Perjuangan untuk menentang perbedaan sosio-politik inilah yang menjadi dasar tindakan Suwardi Suryaningrat selanjutnya dengan mendirikan Taman Siswa (1922) dan menentang Undang-Undang Sekolah Liar (1933). Di sisi lain, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo meneruskan perjuangannya yang radikal, walaupun ia dibuang bersama E.F.E. Douwes Dekker ke Belanda tahun 1913. Pada tahun 1926 ia dibuang lagi ke Banda dan sebelumnya dipenjarakan dua tahun di Bandung. Sebelum Jepang masuk ia dibebaskan dari penjajah dan pada tahun 1943 ia meninggal dunia.

Tujuan Indische Partij
            Dalam anggaran dasar Indische Partij (Pasal 2) dirumuskan tujuan sebagai berikut :
a.       Untuk membangun patriotisme semua bangsa Hindia kepada tanah air yang telah memberi lapangan hidup kepadanya.
b.      Menganjurkan kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan.
c.       Memajukan tanah air Hindia.
d.      Mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Adapun usaha-usaha untuk mencapai tujuan itu adalah sebagai berikut :
a.       Memelihara Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan semua bangsa Hindia, meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah kebudayaan Hindia, menyatupadukan intelek secara bertahap kedalam golongan-golongan bangsa yang masih hidup bersama dalam keadaan terpisah karena ras dan ras peralihan masing-masing, menghidpkan kesadaran diri dan kepercayaan terhadap diri sendiri.
b.      Menyingkirkan kesombongan rasial dan keistimewaan ras, baik dalam bidang ke tatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan, melawan usaha untuk membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang bisa mengakibatkan bangsa Hindia tidak mengenal satu sama lain, dan memajukan kerjasama nasional.
c.       Memperkuat tenaga bangsa Hindia dengan usaha kemajuan terus menerima dari individu kearah aktivitas yang lebih besar dalam bidang tehnik dan kearah penguasaan diri serta pola berfikir dalam bidang kesusilaan.
d.      Penghapsan ketidaksamaan hak kaum Hindia.
e.       Memperkuat daya pertahanan bangsa Hindia untuk mempertahankan tanah air dari serangan asing, apabila perlu.
f.       Mengusahakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan Hindianisasi pengajaran, yang di dalam semua hal harus ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia, dimana tidak diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan ras, seks atau kasta dan harus dilaksanakan sampai tingkat setinggi-tingginya yang bisa di capai.
g.      Memperbesar pengaruh Pro-Hindia ke dalam pemerintahan.
h.      Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat yang lemah ekonominya.
Semua usaha-usaha lain yang sah dan dapat dipergunakan untuk memcapai tujuan tersebut.
           
Keanggotaan
Keanggotaan Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa tanpa membedakan tingkatan kelas, seks atau kasta, golongan bangsa yang menjadi anggota Indische Partij adalah golongan bumiputera, golongan Indo, Cina dan Arab.

Keanggotaan Indische PArtij tersebar pada 30 cabang dengan jumlah anggota seluruhnya 7.300 orang, sebagian besar golongan Indo. Sedangkan jumlah anggota golongan bumiputera adalah 1.500 orang, kebanyakan golongan terpelajar. Indische Partij Cabang antara lain adalah Semarang, dengan jumlah anggota 1.300 orang, Surabaya dengan jumlah anggota 850 orang, Bandung dengan jumlah anggota 700 orang, Batavia dengan Jumlah anggota 654 orang.

Jika dibandingkan dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam, maka keanggotaan Indische Partij lebih kecil jumlahnya. Mungkin hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut untuk memasuki suatu perkumpulan politik. Adanya pasal 111 Regerings-Reglement (RR), yang berbunyi "Bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan yang membicarakn soal pemerintahan (politik) atau membahayakan keamanan umum dilarang di Hindia Belanda". Pasal ini merupakan tembok penghalang yang sukar ditembus oleh Indische Partij dalam mengembangkan jumlah Anggotanya.


Perjuangan Indische Partij untuk memperoleh Badan Hukm.
Di dalam rapat pendirian Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912 ditetapkan pula anggaran dasarnya. Kemdian anggaran dasar itu diberikan kepada pemerintah untuk mendapatkan pengesahan untuk menjadikan Indische Partij berbadan hukum. Sikap Gubernur jendral Idenberg terhadap Indische Partij berbeda dengan sikapnya kepada Budi Utomo dan Sarekat Islam. Sikapnya terhadap Budi Utomo dan Sarekat Islam sangat berhati-hati, tetapi sikapnya terhadap Indische Partij sangat tegas. Gubernur Jendral Idenberk menolak anggaran dasar Indische Partij dengan surat keputusan tanggal 4 Maret 1913. Alas an penolakan disebutkan "Oleh karena perkumpulan itu berdasar politik dan mengancam hendak merusak keamanan umum, harus dilarang pendiriannya, menurut pasal 111 RR".

Di dalam rapat tanggal 5 Maret 1913 pucuk pimpinan Indische Partij memutuskan untuk mengubah bunyi pasal 2 tentang tujuan Indische Partij. Setelah diubah bunyinya menjadi seperti berikut :
a.       Memajukan kepentingan anggota di dalam segala lapangan, baik jasmani maupun rohani.
b.      Menambah kesentosaan kehidupan rakyat di Hindia Belanda.
c.       Berdaya upaya menghilangkan segala rintangan dan Undang-undang Negara yang menghalangi terciptanya tujuan, dan
d.      Minta diadakan undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang menunjang tercapainya tujuan.
Pada tanggal 5 Maret 1913 Indische Partij memajukan lagi untuk kedua kalinya anggaran dasar agar dapat disahkan oleh pemerintah. Dengan surat keputusan tanggal 11 Maret 1913 Gubernur Jendral menolak anggaran dasar Indische Partij yang baru. Bunyi penolakan itu adalah sebagai berikut "Menimbang bahwa perubahan yang diadakan pada pasal 2 anggaran dasar itu, sekali-kali tidak bermaksud merubah dasar dan jiwa organisasi itu yang sebenarnya, sebagai diterangkan di dalam surat keputusan tanggal 4 Maret 1913 No.1 maka kenyataan itu adalah jelas daripada keterangan ketua organisasi, atas pertanyaan Cabang Indramayu yang tertulis di dalam notulen persidangan tanggal 25 Desember 1912 dan dilampirkan di dalam surat permohonan pcuk pimpinan Indische Partij tanggal 16 Maret 1913. Berhubung dengan itu, pemerintah Hindia Belanda tetap menguatkan surat keputusan tanggal 4 Maret 1913".

Walaupun kemdian pucuk pimpinan Indische Partij beraudiensi kepada Gubernur Jendral Idenburg untuk mengulangi permohonan badan hukum itu, tetapi pemerintah Hindia Belanda tetap pada pendiriannya.Dengan adanya penolakan itu berarti Indische Partij menjadi parta terlarang dan hanya berusia 6 Bulan. Meskipun usianya pendek tetapi semangat dan jiwa Indische Partij tetap mendapatkan tempat pada para pemimpin pergerakan saat itu.

Penangkapan dan Pengasingan
Pemerintah kolonial Belanda ingin merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari jajahan Perancis pada tahun 1813. Negeri Belanda dikuasai Napoleon Bonaparte kaisar Perancis (1805). Napoleon Bonaparte menempatkan saudaranya, Louis Napoleon menjadi Raja Belanda. Melalui perang Koalisi VI (1813-1814) Rusia, Inggris, Australia, Spanyol, Prusia dan Negara-negara Jerman dapat mengalahkan Napoleon Bonaparte dalam "Pertempuran bangsa-bangsa" di Leipzig tahun 1813. Dengan runtuhnya kekuasaan Napoleon itu, Belanda menjadi Negara merdeka, sesuai dengan isi perjanjian Perdamaian Paris I (1814).

Rencana perencanaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda di tanah jajahan ini menimbulkan perasaan anti pati dan penghinaan terhadap rakyat jajahan. Untuk mengimbangi niat pemerintah kolonial Belanda itu, didirikanlah di Bandung sebuah Komite yang dikenal sebagai "Komite Boemi Poetra". Tujuan Komite itu adalah :

a.       Mencabut pasal 111 RR.
b.      Membentuk majelis perwakilan rakyat sejati.
c.       Adanya kebebasan berpendapat di tanah jajahan.

Salah satu pemimpin Komite Boemi Poetra, R.M. Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah risalah dengan judul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya ak seorang Belanda). Di dalam risalah itu ia menulis antara lain:

…Seandainya Aku Seorang Belanda, masih belumlah saya dapat berlaku sekehendak hati saya. Dengan sesungguhnya saya akan mengharap-harap, semoga peringatan hari kemerdekaan itu, di pesta seramai-ramainya, tapi saya tidak akan menyukai, jika anak-anak negeri dari tanah jajahan ini dibawa-bawa larut berpesta. Saya akan melarang mereka turut bergembira dan bersuka ria di hari-hari keramaian itu, bahkan saya akan meminta dip agar tempar berpesta, agar tidak ada seorang diantara anak-anak negeri yang dapat terlihat, secara apa kita beriang-riang dalam memperingati hari kemerdekaan kita itu.
…..Sejalan dengan aliran itu, bukan daja tidak adil, tapi terlebih lagi tidak patut, jika anak-anak negeri disuruh menyumbang uang pula untuk turut membelanjai pesta itu. Jika mereka itu telah diperhatikan dengan laku mengadakan pesta kemerdekaan untuk negeri Belanda, sekarang orang bermaksud pula hendak mengosongkan kantong uangnya. Sesungguhnya, suatu penghinaan lahir dan batin

Tulisan R.M. Soewardi Soerjaningrat ini mendapat reaksi yang hebat dari pemerintah kolonial Belanda. Terjadilah pemeriksaan-pemeriksaan yang intensif terhadap Tiga Serangkai oleh Kejaksaan. Dengan menggunakan "Hak Luar Biasa" (Exorbitante rechten) Gubernur Jenderal Idenburg mengeluarkan surat keputusan tanggal 18 Agustus 1913 untuk mengasingkan ketiga pemimpin Komite Boemi Poetra itu. Beberapa tempat ditunjuk untuk mereka. Kupang untuk Tjipto Mangoenkoesoemo, Banda untuk R.M. Soewardi Soerjaningrat, dan Bengkulu untuk Douwes Dekker. Disamping itu ditetapkan pula dalam surat keputusan tanggal 18 Agustus 1913 bahwa mereka bebas berangkat keluar Hindia Belanda. Mereka bertiga memilih diasingkan di luar negeri, yaitu ke negeri Belanda. Mereka berangkat ke Negeri pengasingan tanggal 6 September 1913. Hari keberangkatannya ini diproklamasikan sebagai "Hari Raya Kebangsaan".

Dengan diasingkannya ketiga pimpinan tersebut, maka secara Organisatoris Indische Partij tidak berperanan lagi di dalam pergerakan nasional Indonesia. Ternyata, pengasingan Tiga Serangkai ke negeri Belanda berpengaruh amat kuat pada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar disana.

Walaupun usia Indische Partij sangat pendek, tetapi semangat jiwa dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat sangat besar berpengaruh bagi para pemimpin pergerakan pada waktu itu, terlebih lagi Indische Partij menunjukan garis politiknya secara jelas dan tegas serta menginginkan agar rakyat Indonesia dapat menjadi satu kesatuan penduduk yang multirasial. Tujuan dari partai ini benar-benar revolusioner karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Meskipun banyak ditinggalkan oleh anggotanya, sepak terjang tiga serangkai tidaklah surut. Kegiatan-kegiatan dalam bentuk tulisan dan propaganda yang dilakukan oleh ketiganya memperjuangkan kemerdekaan dan nasionalisme Hindia tetap merupakan ancaman bagi pemerintah kolonial, sehingga demikian pada tahun 1921 Nationaal-Indische Partij (NIP) dibubarkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar